Pada suatu waktu aku bertanya, "menurutmu, apa yang paling membuatmu jatuh cinta? Pelangi sehabis hujan, atau seburut senja yang mengintip di jendela?"
Kamu tersenyum menatap mataku dan berkata, "tak ada yang lebih membuatku jatuh cinta, selain senyummu yang selalu muncul dalam kepala."
Aku tertawa. Dan sekali lagi bertanya, "aku serius. Karena menurutku pelangi setelah hujan sama cantiknya dengan jingga yang terefleksikan dengan baik melalui jendela. Tapi sayang, mengapa dua hal di dunia itu harus menjadi sementara?"
Kamu tersenyum mengusap rambut tanggung milikku, dan menghela sedikit nafas , "menurutku, Tuhan menjadikan pelangi dan senja sementara, kita akan mengetahui bahwa tak ada yang abadi di dunia ini. Tapi semua, selalu berada pada waktunya."
Kamu menatapku, lagi, dan berkata, "paling tidak, Tuhan tidak benar-benar tepat kali ini. Ada kita yang abadi di dalam kepala kecil milikku ini."
Aku tak tahu, aku akan membalas apa lagi. Mungkin dalam satu purnama, kita harus merealisasikan percakapan di atas. Agar aku tau, reaksimu seperti apa.
Kamu tersenyum menatap mataku dan berkata, "tak ada yang lebih membuatku jatuh cinta, selain senyummu yang selalu muncul dalam kepala."
Aku tertawa. Dan sekali lagi bertanya, "aku serius. Karena menurutku pelangi setelah hujan sama cantiknya dengan jingga yang terefleksikan dengan baik melalui jendela. Tapi sayang, mengapa dua hal di dunia itu harus menjadi sementara?"
Kamu tersenyum mengusap rambut tanggung milikku, dan menghela sedikit nafas , "menurutku, Tuhan menjadikan pelangi dan senja sementara, kita akan mengetahui bahwa tak ada yang abadi di dunia ini. Tapi semua, selalu berada pada waktunya."
Kamu menatapku, lagi, dan berkata, "paling tidak, Tuhan tidak benar-benar tepat kali ini. Ada kita yang abadi di dalam kepala kecil milikku ini."
Aku tak tahu, aku akan membalas apa lagi. Mungkin dalam satu purnama, kita harus merealisasikan percakapan di atas. Agar aku tau, reaksimu seperti apa.
Aku, dan percakapan imajiner kita.
No comments:
Post a Comment